Breaking

LightBlog

Thursday, September 29, 2011

Filsafat : KETIKA “TARZAN” BERTEMU TUHAN (Sebuah Tafsir Hermeneutik atas Hayy Bin Yaqzan)



Apa yang dapat diambil setelah membaca buku Hayy Bin Yaqzan karya Ibn Thufayl? Pertanyaan pertama yang wajid diajukan ketika kita ingin memaknai sebuah cerita. Mungkin itu juga apabila menggunakan perspektif Gadamer melihat suatu teks. Bagaimana suatu teks bisa bermanfaat untuk pembacanya, bukan hanya pengulangan makna yang telah menjadi usang.

Cerita yang semua orang wajib membacanya ini berkisah tentang seorang anak yang hidup di sebuah pulau tanpa penghuni manusia. Hayy Bin Yaqzan, bayi yang dibesarkan oleh seekor rusa betina yang kehilangan anaknya. Hayy dipelihara seperti rusa merawat anaknya. Sampai dia besar, sampai memikirkan semuanya. Baik yang anasir, fisik sampai ke metafisik-transendental.

Orang barat mungkin menyebutnya cerita Tarjan, tapi sebenarnya ini adalah cerita tentang perjalanan spiritual seseorang yang terlepas dari doktrin kebudayaan, agama, sosial, ataupun interpensi suatu bangsa. Jika Tarjan adalah kisah tentang seorang yang besar di hutan tanpa proses menatap wajah tuhan, Hayy Bin Yaqzan adalah cerita tentang karakteristik manusia paling primordial yaitu mengetahui jati-diri, kosmik dan Tuhan yang menciptakannya.


Sebuah Usaha Menemukan Makna

Mungkinkan seseorang bisa mengenali sesuatu yang Transenden tanpa adanya doktrin agama? Jika berangkat dari kebudayaan timur, bentuk spiritualitas paling utama adalah menyatu dengan semesta, alam. Tapi dalam kebudayaan yang berkembang di bangsa semit yang keturunannya melahirkan agama yahudi, kristen, dan islam, untuk berjumpa dengan tuhan harus melalui agama. Dengan doktrin agama seseorang diwajibkan untuk mengenal diri dan Tuhannya. Untuk menjawab pertanyaan di muka, jawabannya mungkin ia dan tidak.

Menjawab tidak, karena jika orang terlahir secara fisik, maka kecenderungan seseorang akan kausalistik. Jika manusia terlahir secara alami, maka ia lebih cenderung untuk mencerap sesuatu yang alami dan cenderung menegasikan hal di luar yang alami tersebut. Kecenderungan tersebut sampai hari ini masih banyak dianut oleh sebagian orang, terutama setelah muncul hukum Newton yang memandang dunia ini mekanistik. Selain itu juga pandangan ini di dengungkan oleh Cartesius seorang matematikawan dan filsuf yang mengatakan bahwa segala sesuatu itu jelas dan terpilah-pilah. Akibat dari kedua pentolaan barat modern ini yang menganggap manusia dan alam bersifat mekanistik, maka orang cenderung tidak percaya terhadap sesuatu yang metafisik. Di sisi lain juga orang menganggap bahwa alam ini menjadi objek, sehingga alam dieksploitasi secara besar-besaran. Akibat dari semua ini adalah krisis ekologis.

Dalam cerita Hayy Bin Yaqzan, hal tersebut telah di singgung ketika ia melihat rusa yang memeliharanya meninggal, Hayy membelah dada rusa itu, mencari hal yang mengganggunya. Ia tidak menemukan inti permasalahannya, dari sana ibn Thufayl sebenarnya ingin mengatakan bahwa alam ini tidak mekanistik. Ia mengkritisi pemikiran Ibn Sina yang cenderung kausalistik karena dipengaruhi Aristoteles. Kritik yang diutarakan Ibn Thufayl tersebut dilanjutkan dengan sebuah penyadaran Hayy akan sesuatu yang ada di luar hal yang tampak, empirik. Dari sana dia mennyebut itu dengan panas, energi. Yang sampai berharihari ia pikirkan, dan mengamatai pada binatang yang lain ketika mati.

Prosesi beragama pun berkeyakinan pada dasarnnya berawal dari ketakjuban. Takjub berkehenginan ini jadi niscaya karena seseorang mampu mencerap hal-hal di luar dirinya. Bukannya Ibrahimpun, bapa para nabi, berawal dari takjub? Ia takjub melihat bulan dan bintang pada malam hari, karena menerangi kegelapan ketika malam. Kemudian takjub melihat matahari ketika pagi karena memberikan kehangantan, memberi energi untuk beraktifitas. Kemudian ia menjadi tidak takjub terhadap bulan, bintang dan matahari yang awalnya di anggap tuhan karena mereka memiliki sifat waktu dan ruang, tebatas. Dari sana Ibrahim berangkat kepada hal lain, mencoba menyadari kekuatan di luar benda fisik, atau benda yang terindra. Hayy Bin Yaqzanpun sama seperti itu, ketika ia melihat api, ia menjaga dan menganggap itu kekuatan satu-satunya. Kemudian ia melihat air yang menguap, lalu ia menyimpan air juga, karena ia berpikir, jika tidak minum maka akan kehausan, kemudian ia menganggap air adalah kekuatan yang menghidupkannya. Kemudian ia merasakan udara, dan tanah, sama ia juga menghargai keduanya itu juga. Ia beranggpan keduanya sama seperti air dan api, yang memberi kekuatan pada dirinya. Ia takjub pada benda-benda tersebut.

Dari takjub tersebut seseorang mampu merumuskan sesuatu yang sangat sederhana. Dari kesederhanaan menuju pada sesuatu yang kompleks. Takjub berarti juga kita telah memaksimalkan potensi diri, yaitu alat indra dan pikiran, yang mencoba merespon semuanya dengan teliti. Dari sana baru merumuskan sesuatu yang berada di luar alat indra tersebut. Apa yang menyebabkan semua ini bisa terjadi? Disini Hayy mencari alasan yang bisa menjawab semua ketakjubannya. Tapi karena sifat manusia tidak perrnah mempunyai rasa puas, maka dari hal itu dia terus mencari dan mencari apa yang menyebabkan semuanya terjadi. Berpijak dari hal itu Hayy Bin Yaqzan merumuskan sesuatu yang kompleks, yang tak terbatas, yang tidak semua mahluk memilikinya.

Berkeyakinan tanpa ada doktinpun menjadi niscaya ketika memelihara rasa takjub. Bermodalkan rasa takjub juga orang bisa mencerap mana yang baik dan mana yang buruk, karena di dasarkan pada pikiran dan hati. Walaupun rasa takjub itu harus terus dipelihara dan di dekontruksi setiap saat, agar tidak mengalami kemandekan secara berpikir atau bersikap. Pentingnya dekontruksi dalam hal ini agar seseorang terus merumuskan nilai-nilai yang mereka yakini. Hal senada juga pernah di utarakan Syeh Nietzsche satu abad yang lalu dalam bukunya, Zarathustra dengan steatmen “Tuhan telah mati”, tapi setelah itu dia merumuskan tuhan yang baru dengan ungkapannya “aku hanya percaya kepada tuhan yang mengerti bagaimana itu menari”. Takjub selalu dinamis, karena dengan itu akan menemukan kebaruan yang bersifat lebih kompleks, lebih sempurna.

Terus mencari dan menemukan sesuatu yang baru itu sangat terasa dari awal sampai akhir ketika membaca Hayy Bin Yaqzan. Tidak ada ke kosongan makna dari setiap kalimat bagi setiap orang yang menafsirnya dengan serius. Proses mencari itu tidak langsung sampai kepada tuhan tetapi berdasarkan struktur dari hal yang sederhana kepada hal yang lebih kompleks, dari hal yang empirik ke rasional sampai kepada hal yang metafisik. Lalu bagaimana cara beragama atau bertuhan kita hari ini?

Hal yang dapat di ambil selanjutnya dai kisah “Tarjan” Ibn Thufayl yang lainnya adalah prosesi menghargai diri dengan cara berpengetahuan dan menciptakan pengetahuan. Tidak bisa di pungkiri, tanpa pengajaran dari orang lain, manusia masih mampu bertahan hidup. Itu terjadi karena manusia mempunyai tubuh atau menubuh. Dengan itu dia mampu bertahan hidup dengan menciptakan dan menggunakan alat yang dibuatnya. Dalam cerita Hayy ia banyak membuat alat-alat sederhana untuk bertahan hidup, mulai dari baju yang terbuat dari kulit binatang yang telah mati, membuat tombak dari kayu untuk bertahan dari binatang buas, membuat perangkap ikan dan masih banyak yang lainnya. Selain itu juga dia memerhatikan perubahan-perubahan disekitarnya, perubahan musim, hewan-hewan, tetumbuhan dan memperhatikan dirinya.

Dengan mencerap berbagai hal, Hayy Bin Yaqzan mampu merumuskan suatu epistemologi tertentu, ini yang nantinya akan menjadikan ia mampu menuju kehidupan puncak. Sistem epistemologi yang sederhana dengan mencerap berbagai hal. Dengan itu bisa memperbaiki hidupnya, dan setiap hari terus meningkat secara pengetahuan maupun spiritual. Itu tidak mustahil, yang mustahil adalah tahu pasti seratus persen, seolah-olah kepastian hari ini sama dengan kepastian hari kemarin dan akan terus sama dengan kepastian hari esok.

Pengetahuan memungkinkan orang untuk merumuskan sesuatu secara lebih baik dan itu berbandig lurus dengan spiritualitas. Semakin Hayy memikirkan alam semakin ia memikirkan penciptanya. Lalu apa yang mesti kita rumuskan setelah fondasi-fondasinya telah dibuat oleh yang lain? Apakah kita harus menjadi “Tarjan” terlebih dahulu untuk bertemu dengan tuhan? Jika harus seperti itu sungguh sangat konyol, karena kita tinggal meneruskan dan rekontruksi dari apa yang telah diciptakan sebelumnya. Ini dimaksudkan agar lebih kontekstual dari cara berpengetahuan dan cara bertuhan kita hari ini.


Berjumpa Tuhan

Seperti telah di kemukakan sebelumnya, pengetahuan berbanding lurus dengan spiritualitas, berketuhanan. Selain bagaimana seseorang berpengetahuan, ada yang lain yang harus dilakukan apabila hidup ingin lebih baik, yaitu bertuhan. Bertuhan dalam hal ini mempunyai keyakinan terhadap sesuatu yang Wajib Ada untuk memberi ketenangan terhadap diri dan mendapat kebahagiaan secara penuh. Mengapa ini menjadi penting? Jawabannya sangat sederhana, karena manusia selalu mencari kebahagiaan.

Kebahagiaan yang paling tinggi adalah ketika bisa menatap wajah tuhan. Berjumpa dengan sang pencipta ini tentunya harus diperjuangkan. Perjuangan melawan hawa nafsu, kepuasan sesaat dan godaan-godaan yang menggiurkan. Usaha melawan semua itu, akan menjadikan diri lebih bersih dan suci. Untuk bisa menatap wajah tuhan, seseorang harus memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh. Jika tuhan adalah maha suci, maka untuk berjumpa dengan-Nya seseorang harus suci. Karena tuhan memiliki sifat dari segala kebaikan, maka orang yang ingin menatapnya harus secara sadar melakukan sifat-sifat ketuhanannya itu.

Untuk menjadikan diri lebih baik maka setip hari tentunya harus terus mempunyai aktifitas memperbaiki diri. Proses memperbaiki diri pada saat yang sama yaitu usaha untuk mengenal diri lebih jauh lagi, menghadirkan diri secara utuh dalam ruang dan waktu. Bila telah menyadari itu, maka manusia akan sadar pada batas, suatu keniscayaan bagi setiap mahluk. Batas-batas itu yang harus dilampaui dengan proses memaksimalkan potensi diri. Memaksimalkan semua itu tentunya berdasarkan kesadaran akan kehadiran tuhan. Semakin merasakan kehadiran tuhan, bertambah pula rasa menghayati hidupnya.

Berbeda dengan beberapa sufi ketika ia merasakan atau berjumpa Tuhan, tidak ingin kembali pada realitas kehidupannya karena sudah merasakan nikmat yang tak terkira. Maka mereka akan menjadi pasif dalam kehidupan sehari-harinya. Tapi dalam hal ini ketika sudah merasakan kehadiran Tuhan, sudah selayaknya ia menyadari kehidupan dan mencoba membagi kebahagiaan itu pada mahluk yang lain dengan kreatifitas. Sehingga tidak menjadi pasif keadaan seseorang yang hidup tersebut. Hal senada telah dicontohkan Muhammad saw ketika sudah mencapai arsy dan bertemu Tuhan, ia memutuskan kembali ke bumi untuk menyempurnakan ahlak, tidak memilih tinggal bersama Tuhannya. Dari sana kita menyadari bagaimana seharusnya hidup, seperti dalam sebuah puisi Iqbal,

Ketika Tuhan menciptakan tanah, maka aku ciptakan gerabah

Ketika Tuhan ciptakan biji besi, maka aku ciptakan belati

Oleh sebab itu maka manusia menjadi wakil tuhan di bumi. Tidak ada kebahagiaan lain ketika hidup merasa diawasi dan melihat wajah tuhan dalam setiap tindakan.

Hayy pun selalu menginginkan hal itu, dengan cara terus mensucikan diri dan mengingat namanya, sampai ia merasakan kebahagiaan yang tiada terkira. Ketika itu sudah terjadi, maka ia tidak ingin lepas dari kehidupan puncak (Hayat Qushwa) tersebut.

Berjumpa Tuhan akhirnya senantiasa terjadi tanpa harus memikirkan hal-hal yang yang memberikan kebahagiaan sementara. Jika seseorang mampu memaksimalkan potensi diri pada saat yang sama ia sedang menghargai apa yang telah diciptakan Tuhan. Berjumpa tuhan tidak menjadi mustahil apabila kita mau melakukannya. Apabala kita meyakini dan mengharapkan sesuatu dengan sungguh-sungguh maka seluruh alam senantiasa mendukung kita. Ketika sudah berjumpa dengannya maka kita sudah tidak perlu menamainya, hanya senyum dan kebahagiaan yang dirasakan.


Epilog

Untuk bertemu Tuhan tentunya bisa melalui banyak cara. Cerita Hayy bin Yaqzan merupakan suatu antitesis dan juga anomali dari cara bertuhan seseorang atau sekelompok kaum. Dalam hermeneutika tentunya ini bukanlah suatu tafsiran yang mutlak benar, karena setiap orang bisa memaknai suatu teks dengan berbagai makna tergantung cara pandang dan kekayaan kazanah penafsir.

Hayy bin Yaqzan merupakan cerita yang patut setiap orang renungkan. Untuk kita sekarang, di tengah cara beragama kita yang penuh dengan formalisme lembaga dan juga tafsir atas syariat yang rigit, cerita ini merupakan alat untuk menyadarkan kita betapa hidup berketuhanan tidak harus dipaksa dan di lembagakan. Bertuhan merupakan suatu hal yang unik dalam diri setiap orang, apabila seseorang merasa bertuhan sudah selayaknya ia tidak menebar kekerasan terhadap sesama di muka bumi.

“Tarjan” nyentrik ala Ibn Thufayl mengajak pembaca mengarungi nalar dan hati untuk menyusuri labirin-labirin yang terkadang dilupakan. Mengajarkan bagaimana pembaca tidak ketergantungan terhadap sesuatu yang bukan bagian diri, agar bisa menjadikan hidup lebih bahagia. Membaca diri, sendawa dengan semesta dan menatap wajah Tuhan adalah hal yang harus terus di lakukan agar hidup menjadi lebih dari sekedar hidup, agar manusia menjadi lebih dari sekedar manusia. Mudah-mudahan []




RUJUKAN BACAAN


Thufayl, Ibn. HAYY BIN YAQZAN, Anak Alam Mencari Tuhan. Penerj. Ahmadi Thaha. Pustaka Firdaus. Jakarta. 1997

Coelho, Paulo. Sang Alkemis. Gramedia. Jakarta. 2007

Freire, Paulo. Pedagogi Hati. Kanisius. Yogyakarta. 2001

Hardiman, F. Budi. Filsafat Fragmentaris. Kanisius. Yogyakarta. 2007

Iqbal, Muhammad. Rekontruksi Pemikiran Dalam Islam. Jalasutra. Yogyakarta. 2008

Nietzsche. Zarathustra. Jejak. Yogyakarta. 2006

Russel, Bertan. Sejarah Filsafat. Pustaka pelajar. Jogjakarta. 2002

Sugiharto, I.Bambang. Posmodernisme. Kanisius. Yogyakarta. 2004

Sumaryono, E. Hermeneutika. Kanisius. Yogyakarta. 2002





Ibn Thufayl (1110-1185 M) lahir di Cordova, Spanyol. Di Eropa dikenal dengan nama Abubacer.

Tarjan merupakan transliterasi dari cerita Hayy Bin Yaqzan yang di ceritakan oleh orang-orang eropa, dalam sebuah film, certa, atau dongeng. Tarjan sebenarnya cerita Hayy bin Yaqzan yang mengalami degradasi makna, karena dihilangkan prosesi spirituaitas dan cara dia berpengetahuan .

bdk dengan hukum kausalitas Aristoteles. Hukum kausalitas membahas tentang segala sesuatu berdasarkan sebab-akibat, karena tidak mungkin sesuatu bermula atau terjadi tanpa ada sebab. Sebab ini adalah hal yang serupa dengan apa yang diakibatkan, jadi lebih cenderung mekanistik. Bertan Russel, Sejarah Filsafat. Pustaka Pelajar. Jogjakarta.2002

Istilah yang digunakan Derrida untuk menghancurkan suatu tata nilai yang sudah mapan, biasanya digunakan dalam sastra, I.B Sugiharto. Posmoderinsme. Kanisius. Yogyakarta. 2004

Nietzsche. Zarathustra. Jejak. Yogyakarta. 2006

Menubuh, penulis menggunakan istilah yang digunakan Marleau Ponty yang menyatakan bahwa pikiran atau akal itu bersatu dengan badan. Jadi tidak terpisah antara pikiran dan badan. F. Budi Hardiman. Filsafat Fragmentaris. Kanisius. Yogyakarta. 2007

Menatap wajah tuhan. Penulis menggunakan istilah ini berdasarkan suatu riwayat nabi yang menyatakan bahwa “Muhammad saw berhadapan dengan Tuhan dengan jarak sebusur panah”. Jadi tidak ada penyatuan antara muhammad saw dan Tuhan ketika Muhammad berada di Arsy.
Menatap wajah tuhan juga adalah proses manusia menjadi ihsan, dimana bisa merasakan dan melihat tuhan dan apabila tidak merasakan maka tuhan tetap mengawasi kita.

Lihat Muhammad Iqbal. Rekontruksi Pemikiran Dalam Islam. Jalasutra. Yogyakarta. 2008

Paulo Coelho. Sang Alkemis. Gramedia. Jakarta. 2007

No comments:

Adbox